Translate

Senin, 30 Maret 2009

Rumah Kecil



Bandung terasa makin panas. Bulan Juni yang penuh dengan sesak dan sesal, menambah-nambah kekhawatiran Bambang saja. Sudah jam 4 sore Tsa belum pulang juga. Aneh. Biasanya ia sudah asyik berdiam di rumah kecilnya. Ya, rumah kecil yang penuh kedamaiaAn, begitu menurutnya.

Pada awalnya itu hanyalah sebuah kandang anak kucing -Gege- yang pernah amat didambakan Tsa. Namun kini sudah diubah menyerupai rumah sungguhan---berpintu dan berjendela. Namun ukurannya hanya cukup untuk Tsa dan manusia seukurannya. Sedangkan Gege sudah terusir karena menurut Tsa dia galak, jorok dan suka mencuri. Padahal kalau dikenang betapa menjengkelkan rengekannya saat Tsa meminta anak kucing itu.
“Aku mau anak kucing kayak Alia dan Tomi, Yah. Tiap hari mereka selalu membicarakan anak kucing. Omonganku tidak pernah diperhatikan lagi karena mereka bilang aku tak punya anak kucing seperti mereka. Padahal aku kan bisa punya anak kucing dan merawatnya dengan baik. Boleh ya?”
Dindingnya terbuat dari papan yang dicat biru muda, sesuai keinginan Tsa. Permukaan pintu dihiasi warna pelangi, sedangkan pada bagian dinding luar Tsa menambahkan gambar gunung dan pohon. Tampak manis dan menarik. Lalu satu hari ia lukis dirinya sendiri di dinding itu. Begitu ditanya ayahnya, ia berkata bahwa yang tinggal di rumah itu hanya dia karena rumah itu kecil dan dia anak kecil.
Bambang kerap diajak mengunjungi rumah kecil itu, seolah mereka tinggal terpisah dan jauh. Tapi memang kenyataannya Tsa lebih sering diam di rumah kecilnya daripada di kamarnya sendiri yang jauh lebih luas dan cerah.
Tsa bisa bersikap ramah dan dewasa ketika menerima tamunya dan dapat pula melayaninya dengan baik. Kalaupun ayahnya sedang sibuk, ia kerap memaksanya bertamu jika sudah cukup lama tak ada orang yang datang ke rumahnya. “Ayo silakan masuk, anggap saja rumah sendiri. Maaf tak ada kursi, duduk di karpet saja, ya.”
Kalimat inilah yang kerap ia ucapkan pada setiap tamunya juga pada ayahnya. “Ups maaf saya lupa, boleh saya keluar dulu sebentar?” Bambang hanya mengangguk, walau tak mengerti apa yang hendak dilakukan anaknya. Ia menunggu dengan badan yang ditekuk.
“Mau minum apa?” Tsa kembali dengan sekeresek makanan dan sebotol air putih. “Di sini semuanya kecil dan sederhana. Tidak ada toples, piring, apalagi kursi. Yang ada hanya buku-buku ini.” Tsa menumpuk buku-bukunya menjadi meja dan meletakkan makanan di atasnya. “Hm..tapi gak apa-apa kan. Apa Ayah merasa nyaman di sini?,” Tsa tersenyum.
Bambang membalas senyum, tapi gundah, cemas, bosan dan rasa geli menyelimuti wajahnya.
Setiap hari Tsa menghabiskan waktunya di rumah kecilnya. Ditemani buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan, teman, guru dan yang ia beli sendiri dari uang jajannya. Tiap minggu ia undang teman-teman sekolahnya. Juga Alia dan Tomi teman bermainnya. Ini ia lakukan untuk membuktikan bahwa rumah itu sangatlah berbeda dengan anggapan teman-temannya itu. Dia ingin menunjukkan rumah itu tidaklah sempit. Sampai-sampai ia suruh semua teman sekolahnya masuk secara bersamaan. Tentu saja teman-temannya saling tergencet, apalagi makin hari buku-buku makin menumpuk di dalamnya.
Ayah Tsa komplain tentang perbuatannya yang nyeleneh. Tsa tetap bersikeras bahwa memang rumah itu amat luas.
“Ayah jangan melihat dari ukurannya saja atuh, coba Ayah rasakan suasana di dalamnya, pasti lebih luas. Makanya aku selalu mengajak Ayah masuk ke dalam. Karena aku ingin Ayah merasakan hal yang sama denganku, begitu juga teman-temanku.”
Akhirnya ia kerap komplain pada dirinya sendiri. Dia benci otak anak itu yang begitu terobsesi oleh rumah papan sialan itu. Kalau saja Gege tidak ia beli, barangkali tak akan pernah ada kandang itu di depan rumahnya. Ya, hanya kandang.
Jam 5 tepat. Kecemasan makin menggelayutinya. Rumah kecil itu masih kosong. Lama-lama ia ia menjadi muak. Kemana Tsa pergi? “Ah..bikin jengkel saja anak itu. Kalau begini terus pekerjaanku bisa terbengkalai.”
Mungkinkah Tsa marah karena aku sering melarangnya diam di rumah itu? Ah dia itu anak yang keras kepala, dan sok tahu, selalu saja ingin menang. Dan dengan gayanya yang sok itu selalu ingin membuktikan segala hal. Heh! Menyedihkan, warisan dari siapa sifat begitu?
Tiba-tiba timbul pikiran kotor di benaknya. Inilah saat tepat menyingkirkan kandang itu. Ya, tentu saja. Ia bergegas mengambil perkakas di gudang belakang. Bagaimanapun kandang itu sudah mengotori otak anakku. Maka tidak salah bila aku menghancurkannya. Lagipula aku bisa membelikannya rumah sungguhan yang mewah dan nyaman. Kampak besar telah dipanggul di pundak yang kekar. Kampak itu diangkat tinggi. Tapi tidak jadi dihantamkan, Bambang merasa miris. Itu harta bagi Tsa.
Perlahan ia masuk ke dalam, badannya ditekuk. Ada buku-buku di sana. Ada juga album foto. Ini baru pertama kali ia lihat. Dengan hati-hati ia pun membukanya. Album itu berisi foto-foto Tsa waktu bayi. Fotonya waktu menggendong Tsa dan foto…Plak!! Bambang segera menutupnya dengan kasar. Dengan beringas ia keluar dan PRAK! PRAK! Rumah kecil Tsa hancur lebur.
Tsa berdiri kaku di pintu gerbang, mulutnya tertutup rapat. Badannya gemetar. Tak ada sepatah kata pun yang terucapkan. Sementara Bambang terus menerus menghantamkan kampak ke rumah kecil Tsa. Harta.
“A-yah, a-yah...” Tsa tumbang, sekujur tubuhnya penuh luka. Ruhnya terbang dan hancur bersama rumah kecilnya

0 komentar:

Posting Komentar