Ranah
*)F. Moses
Di dekat arah laut lepas itu kelak kau temui aku. Mungkin, sesungguhnya kau tahu keberadaanku.Terlebih kau Ranah. Kau pasti tahu.Mengapa setia dalam kepura-puraan tak tahu?Suatu saat mampukah kau mencari aku di sepanjang laut lepas. Laut yang seolah telah hempaskanku.Kini, tepat di bibir pantai dekat pohon kelapa tua biasa kita bertemu dulu, aku masih setia menunggumu. Ingatkah kamu?Kita pernah nakal di antara pohon-pohon itu.
Barangkali itulah segenggam ingatan aku untuk Ranah. Ranah tak akan pernah tahu. Ranah yang seolah tak mau tahu. Ranah dengan seolahnya enggan melihat apalagi merasakan. Seberapa besar harapmu agar aku kembali, Ranah? Tidak mungkin. Aku tak akan kembali. Tak akan pernah. Harapku, kau melihat aku suatu saat nanti. Tentunya dalam tatapan yang tak pernah bisa kau tangkap. Entah kecemasan apalagi kau punya.
Ya, itulah aku. Keadaan sebagai kematian yang tak diketahui sejak kepergianku menjala ikan, bersama perahu cadik, terkaram oleh ombak di perairan sebelah daratan tanah kita. Perahuku tenggelam. Di bawah burung-burung ganas pemakan ikan. Sekawanan burung berbulu hitam. Mereka sampai kini setia beterbangan. Merekalah saksi atas kematianku. Alangkah tragisnya.
Burung-burung itu sampai sekarang masih setia di udara atas lautan luas. Adakah kau seperti burung-burung itu, Ranah? kadang sekawanan burung itu melintas di atas jasadku. Padahal, mereka hanya menikmati alam bebas. Bebas kemana mereka suka. Bebas di hamparan cakrawala. Sesekali, memperhatikan anak-anak mereka kala lapar. Memperhatikan para cericit kecil dengan halus serta polosnya di antara semak pohon kelapa. Bagiku mereka lebih hebat dari kau, Ranah. Dugaanku, Mereka lebih dulu mengetahui nasibku sebelum kau tahu. Jika demikian, betapa lebih pintarnya hewan ketimbang manusia. Betapa tolol manusia.
Ranah, pernah tahukah kau barangkali sebentar lagi aku tinggal rangka. Bagaimana tidak, burung-burung di atas sana juga perlu makan. Barangkali akulah santapan terlezat yang pernah mereka rasakan selain ikan dan binatang laut lainnya. Namun, sebentar lagi mereka cuma menikmati belulang saja. Rayap liar perlahan-lahan menggerogoti aku. Seperti aku katakan tadi bahwa nantinya kutinggal rangka. Tulang-belulang keras. Sementara sisanya adalah kengerian, tentunya yang akan kau lihat. Itupun seandainya.
Aku—sebagai kematian tak pernah kau ketahui. Suatu saat, kau mampu menemukan aku. Itulah hasratku. Hasrat sebagai manusia mati. Hasrat mati.
Ranah, andai kau mulai cemas kemudian hendak berlayar, berhati-hatilah. Hembusan angin kencang membuat tubuhmu riskan rapuh. Asal kau tahu, di sini, aku setia menjagamu dalam raga mati ini, meskipun tak tahu kau hendak kemana. Arahmu ada dalam pikiranmu.
***
Sudah sekian lama. Ranah mencemaskanku.
”Hendak kemana petang ini kau, Ranah?”
”Tak kemana-mana, Mak, hanya menunggu Masmu yang tak belum juga pulang.”
”Sibuk amat sampai kau harapkan dia pulang. Paling entar atau besok-besok juga pulang. Mau aja tunggu dia. Lebih baik kau pikirkan anakmu yang juga telah lama menghilang” kata Mak sedikit melengos.
Selepas senja, Ranah larut dalam lamunannya. Sambil duduk di balkon depan beranda matanya menerawang ke arah senja yang perlahan-lahan mulai menghilang. Berharap Masmu datang bawa sekeranjang ikan bersama lentera yang setia menerangi ketika hari mulai gelap. Begitulah seterusnya.
Ranah semakin bergumul dengan kecemasan. Ranah cemas. Secemas hatiku yang belum diketemukan. Cemas dalam kematian. Tidak hanya milik manusia hidup. Karena betapa tragis kematian yang sampai kini belum diketahui. Apalagi tak seorang pun.
***
Mak cemas melihat kelakuan Ranah yang semakin lama menampakan kegelisahan. Ranah tak ambil pusing. Ranah lebih memilih bersikap diam. Ranah tahu betul, Mak memang sangat sentimentil dengan Masmu.
”Ranah, lama-lama kau gila. Hanya tungguin Masmu itu yang sudah tidak jelas. Entah kemana dia. Tolol. Sudah berbulan-bulan tiap petang cuma menunggu terus. Menunggu dan menunggu,” kata Mak keras.
Ranah memang sudah gila. Ya, perlahan-lahan Ranah nyaris kehilangan kesadarannya. Ranah memang tak akan pernah tahu semua kejadian sebenarnya atas diriku. Apalagi Mak. Sangat benci sekali sejak dulu. Sentimentil. Mak memang kecewa sekali lantaran kami yang beda agama. Ranah selalu dihantam banyak pertanyaan oleh Mak. Bertubi-tubi dan berkali-kali. Semua itu dilakukan Mak setiap hari. sekali lagi, Ranah hanya duduk diam di balkon. Seperti melamun. Terkadang menerawang. Matanya, seperti untaian kalimat, menatap ke arah lautan. Berharap Masmu pasti pulang. Baginya, desiran angin laut adalah bisikan-bisikan Masmu. Seolah Masmu bicara perlahan-lahan: Ranah, aku pasti pulang.
Ranah, andai saja kau tahu keadaanku sebenarnya. Aku yakin kau tidak tinggal diam. kadang aku ingat, kita pernah berjanji bahwa kita hanya punya cinta. Sempat dulu kita menjuluki hubungan ini: kita adalah raja dan ratu tengah mabuk cinta. Sekalipun beda tuhan. Sudahlah Ranah, tahu apa kita tentang perbedaan itu. Toh dulu kita tak mempersoalkannya. Kecuali Mak, persetan sekali dengan persoalan cinta atau tidak. Baginya, jodoh harus seperti keinginannya. Sungguh tragis. Perlahan pula kau tak memedulikan aku. Mengikuti arah Mak pada perbedaan itu.
***
Sudah hampir tiga tahun. Penduduk kampung pesisir semakin tahu.
”Hari gini masih ada perempuan setia menunggu laki-lakinya.”
”Laki-laki yang gak jelas pula. Si Mak aja yang bodoh. Gak bisa jagain anak perawannya sih...” celoteh perempuan-perempuan kampung pesisir.
Ya. Para perempuan memang kerap berkata-kata begitu.
Celoteh orang sekampung tak mengubah Ranah. Ranah masih terus menunggu. Setiap waktu di kesehariannya hanya menatap arah laut lepas. Seolah laut akan membawa penantiannya.
Aku—sebagai kematian yang tidak diketahui—sungguh tahu, betapa Ranah amuk dalam pikirannya. Ranah memang semakin tak ambil pusing. Persetan dengan perkataan orang sekampung.
Ya. Ranah sudah tak peduli dengan ucapan sekampung. Setiap hari bibirnya komat-kamit. Ranah hanya menunggu angin berhembus. Ranah hanya berbicara pada angin. Ketika angin tak berhembus, entah apa lagi yang harus diucapkannya. Dalam pikirannya hanyalah Masmu.
Mak semakin jadi bingung. Terlebih saat orang sekampung makin sering bertanya padanya.
”Anakmu itu suka ngomong sendirian?”
”Gak tahu,” jawab Mak dengan ringan.
”Tapi, Mak, awal-awalnya dulu Ranah nggak separah sekarang. Malah, kadang-kadang, terlihat seperti berdoa di balkon.”
”Seperti? Tahu apa sampai kau anggap dia berdoa.”
Ranah memang sambil berdoa dalam hatinya. Tak seorang pun tahu. Orang memang kadang tak pernah tahu tentang isyarat hati yang bergumul. Sampai akhirnya, mereka kerap berkata: Barangkali sekarang Ranah putus asa. Barangkali.
Ranah memang gampang putus asa. Seperti keputus-asaannya dulu ketika terpaksa harus membenci aku karena Mak. Tidak. Bagiku Ranah tidak putus asa. Ranah memang berhenti berdoa. Tapi, baginya, berbicara dengan angin sama saja berdoa. Sekalipun, karena itu, orang sekampung menganggapnya gila. Sebuah anggapan karena keputus-asaan. Terlebih karena menunggu lelakinya.
***
Ranah semakin liar. Liar dari sebuah kegelisahan. Sambil duduk di balkon ia tak henti-hentinya berkomat-kamit, meliuk-liukan tangan, kaki. Ranah berdoa sambil meliuk-liuk. Meskipun pada angin. Ranah setia berbicara pada angin. Angin hanya berhembus. Bagi Ranah, hembusannya adalah kata. Kata yang mampu meredakan ruang gelisahnya. Kata telah menjadikannya ruang redam.
Suatu ketika, Mak terkejut karena Ranah menghilang. Penduduk pesisir kalang-kabut. Semua orang membantu Mak untuk mencari Ranah.
Semuanya, tak satu pun mampu menemukan Ranah.
Aku tahu. Sebagaimana yang aku tahu, Ranah adalah perempuan tak pernah putus asa. Sebagai perempuan yang akhir-akhir ini berbicara dengan angin dari lautan luas, angin telah menjadi kata untuknya. Barangkali, angin telah membawanya padaku.
Telukbetung, Agustus 2007
Selasa, 31 Maret 2009
Ranah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar