Translate

Minggu, 12 April 2009

Jenuh dengan ...

Belakangan ini aku tidak tahu apa yang terjadi dengan semua yang ada di sekeliling. Banyak hal yang membuat aku bingung dan cenderung jenuh. Sepertinya aku butuh tempat lapang untuk berteriak sekuat tenaga menghabiskan energi dari rasa jenuh. Semua alat komunikasi yang ada sudah jarang kugunakan. Lebih sering kini intuisi kugunakan untuk melihat dan membaca keadaan. Selain itu, telepati pun tidak kalah berfungsinya untuk mengasah rasa simpatiku terhadap sesama.
Aku bosan melihat orang-orang yang tidak mau melihat ke belakang. Aku muak mengamati orang-orang yang berlebihan dalam memanjakan ego. Aku kesal melihat manusia-manusia yang selalu meng kotak-kotakkan mengenai (benar-salah) terhadap orang lain. Aku pun malas melihat pribadi-pribadi yang meremehkan dan merendahkan orang lain.
Sepertinya sekarang ini aku hanya bisa meneguk rasa muak terhadap semua ini. Akankah ada penetralisir untuk rasa anyir getah yang bermuara dari rasa bosan ini. Rutinitas mungkin hanya bisa kujadikan candu pelipur amarah, sedangkan hidangan lelucon belum tersaji dalam cangkir panas yang sudah kusiapkan dari harihari yang lalu.
Hingga kini aku masih bertanya-tanya, sebenarnya motivasi manusia menjadi congkak itu apa? Padahal aku selalu iba ketika melihat orang lain yang mau berusaha keras dengan mengorbankan harga dirinya.
Ada beberapa cerita selama liburan mengenai orang-oarang yang mau melakukan hal-hal seperti yang ditunjukkan di atas. Kemarin, ketika aku pergi ke toko material untuk membeli cat untuk anak-anak didikku yang mau mengikuti lomba mading, aku melihat bapak-bapak sales dengan wajah letih dan kecewa mendengarkan komplain dari penjual mengenai tagihan yang tidak sesuai dengan pesanan. Bapak itu diam seribu bahasa dicaci maki dan hanya bisa menunduk lemas dengan menahan rasa kantuk dan lapar. Aku mengamati dia terus sampai transaksi itu berakhir. Ia keluar dengan wajah sedih kemudian menyalakan motor bebek tuanya dan meninggalkan tempat itu. Sedih sekali aku melihat keadaan itu. Hasil yang diperoleh dalam sebulan mungkin tidak sebesar apa yang kudapatkan saat ini. Ya mungkin ini yang disebut dengan keberuntungan.
Pagi tadi pun, aku melihat penjual tahu dengan sepeda penuh karat masuk ke komplekku dengan mengeluarkan suara naring "Tahuu.....tahu...." dia berharap ada yang keluar dan membeli, ternyata tidak ada satupun yang memanggil. Selain itu, ada pula remaja pria dengan menggunakan motor bebek gaulnya dengan felek racing berjualan telur goreng. Jok yangbiasa untuk membonceng, kini menjadi tempat kompr dengan wajannya. Aku empat berpikir apakah tidak meledak jika itu berlangsung lama. Namun kurasa tidak, buktinya hinggakini di masih menjual telur-telur puyuhnya dan selalu ramai dikerumuni anak-anak kecilyang dengan bebasnya meggoreng telur-telur itu sendiri.
hebat sekali mereka-mereka ini menurutku. Mereka kebal dengan rasa malu. Mereka seikitpun tidak mebiarkan egonya untuk mencegah apa yang mau iya lakukan. Apakah aku, kamu, kita atupun siapa itu bisa menjadi seperti mereka? Minimal kita bisa menumbuhkan rasa empati untuk bisa merasakan seperti keadaan mereka, sehingga kita tidak semena-mena untuk menghambur-hamburkan uang demi nafsu sesaat. Bahkan yang lebih baik lagi adalah kita harus bisa menghargai sesama, seperi apa yang telah diajarkan guru besar kita Jesus Christus.

1 komentar:

  1. empati dan simpati itulah yang diperlukan zaman sekarang ini. Doa yang akan mengubah segala-galanya. Percayalah dan yakinlah, Tuhan selalu beserta kita. Amin. hhehhehe...

    BalasHapus